Kamis, 19 Maret 2009

Penyelengara Kelas Layanan Khusus

Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus (KLK)

Dinas Pendidikan Kota Semarang merupakan salah satu dari 35 kota/kabupaten penyelenggara Kelas Layanan Khusus (KLK) di Indonesia. Program Kelas Layanan Khusus adalah program layanan pendidikan bagi anak usia SD yang putus sekolah atau sama sekali belum bersekolah pada usia 7 - 14 tahun. Tujuannya agar anak-anak usia tersebut yang putus sekolah atau belum pernah bersekolah dapat memperoleh layanan pendidikan di SD sampai tamat.
Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus di suatu sekolah bersifat tidak permanen. Tugas sekolah sebagai Penyelenggaraan Kelas Layanan Khusus akan berakhir ketika di sekitar sekolah sudah tidak ada lagi anak-anak usia SD yang putus sekolah atau belum bersekolah. Oleh karena itu setiap tahun pelajaran baru diadakan verifikasi terhadap kelayakan SD penyelenggara KLK. SD. Badarharjo 02 Kecamatan Semarang Utara pada tahun pelajaran 2008/2009 masih termasuk salah satu SD yang berhak menyelenggarakan KLK sesuai dengan verifikasi Dir. Pembinaan TK/SD.

Pendidikan Dasar

Lemahnya kompetensi aparatur penyelanggara pendidikan di DKI Jakarta ditengarai menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Jakarta. Artinya, pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan pendidikan dari tingkat dinas sampai tingkat sekolah menjadi titik tolak pendekatan manajemen sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan organisasi Sub Dinas Pendidikan SMP dan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta. Asumsi ini merujuk pada pendapat Gilly dan Maycunich (2000:98) yang mengungkapkan bahwa pengorganisasian terkait dengan pengaturan orang-orang ke dalam berbagai fungsi pekerjaan pada lingkungan tingkat tanggung jawab tertentu, kewenangan dan pengambilan keputusan, serta relasi timbal balik untuk mencapai tujuan strategi organisasi. Sedangkan pendapat Terry (1997:264) menyebutkan, organizing is the establishing of effective behavioral relationsships among persons so that may work together efficiently and gain personal satisfaction in doing selected tasks under given environmental conditions for the pupose of achieving some goal or objective.Kaidah ini ternyata tidak menihilkan kenyataan yang terjadi pada penyelenggaraan pendidikan SMPN di DKI Jakarta. Jika ditilik dari indikator keberhasilan Standar Pelayanan Minimal (SPM), jelas terlihat suatu gambaran faktual bahwa kualitas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Jakarta masih belum optimal.Misalnya, pencapaian SPM atas indikator tenaga kependidikan non guru hanya 68,81 persen. Padahal, target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini sebesar 80 persen. Pencapaian SPM atas indikator guru berkualitas dan berkompetensi hanya mencapai 50,72 persen. Sedangkan target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini sebesar 90 persen. Pencapaian SPM atas indikator jumlah siswa per kelas mencapai rata-rata 44 siswa per kelas. Target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini adalah antara 30–40 siswa per kelas.Kemudian dalam penyelenggaraan SMPN di DKI Jakarta masih terdapat jumlah guru bidang studi atau mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan guru. Misalnya, bidang studi seni budaya kekurangan guru sebanyak 74 orang, bidang studi keterampilan kekurangan guru sebanyak 70 orang dan BP kekurangan guru sebanyak 883 orang. Belum optimalnya kualitas pelayanan pendidikan pada SMPN juga terungkap dari data permasalahan sekolah tahun 2007, yang antara lain menunjukkan belum meratanya distribusi guru di setiap sekolah. Kemudian belum meratanya pembagian tugas jam mengajar di setiap sekolah. Selain itu, juga masih banyak guru yang belum mempunyai kualifikasi S1 sesuai tuntutan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap guru minimal berijazah S1. Disamping itu, juga masih terdapat ketidaksesuaian antara kompetensi pendidikan yang dipunyai guru dengan bidang studi yang diajarkan.Karena itu, dalam disertasi gelar doktor yang ditulis Saefullah, Wakil Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta, menyebutkan, pengorganisasian berpengaruh terhadap signifikan terhadap kualiatas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Provinsi DKI Jakarta. Besarnya pengaruh pengorganisasian terhadap kualitas pendidikan ditentukan oleh hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab penggajian dan pengendalian.Dari hasil kajianya, Saefullah menyimpulkan tiga dimensi penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di DKI Jakarat yaitu, motivasi kerja aparatur penyelenggara pendidikan di DKI Jakarta masih rendah, susunan pelaksanaan kebijakan dan kegiatan pelayanan pendidikan dan distribusi pekerjaan-pekerjaan kurang terkoordinasi dengan baik, dan terakhir naik turunnya kualitas pelayanan pendidikan dasar lebih banyak tercermin dari penyediaan prasarana pendidikan yaitu gedung sekolah, ruang kelas, dan ruang perpustakaan serta tercermin dari perhatian kepala sekolah terhadap usulan orangtua siswa, perhatian guru terhadap keluhan siswa dan perhatian staf sekolah terhadap lingkungan sekolah.Untuk itu, secara akademis Saefullah menyarankan, masalah pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan pelaksana kegiatan pendidikan dan masalah kompetensi aparatur pada jabatan struktural dan jabatan fungsional dinas pendidikan perlu dijadikan kajian utama terhadap kualitas pelayanan pendidikan. Kemudian secara praktis, disarankan agar Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta mengembangkan suatu pola pengorganisasian satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan yang tidak terlalu hirarkis dan pola pengorganisasian tersebut hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan teknis pelaksanaan pekerjaan. Selain itu, disarankan dua persen dari total alokasi anggaran pendidikan dialokasikan untuk meningkatkan kompetensi tenaga keguruan SMPN dengan mengikutsertakan para guru yang berprestasi dan guru yang bertugas di daerah pesisir untuk mengikuti jejang pendidikan formal setingkat lebih tinggi atau mengikuti diklat keguruan.

FPSB UII Kembali Dipercaya Diknas

Sebagaimana tersebut dalam UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, ayat (1) menyatakan Pendidikan Khusus (PK) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pebelajaran karena kelelahan fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa; dan ayat (2) menyatakan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial dan tidak mampu dari segi ekonomi, maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah selain menyukseskan penuntasan wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun yang disertai dengan peningkatan mutu pendidikan, juga harus memberikan perhatian yang lebih besar kepada Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, Berkecerdasan Istimewa dan Keberbakatan Istimewa di Indonesia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, maka Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2008 akan memberikan subsidi Pendampingan Perguruan Tinggi Bidang Kecacatan sebagai perluasan akses dan peningkatan mutu pendidikan bagi kelangsungan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Setelah mendapatkan kepercayaan dari Diknas RI untuk memberikan pendampingan bagi para relawan bencana alam pada TA. 2006/2007 dan memberikan program pendampingan Psikologis terhadap Siswa/i Cerdas Istimewa dan atau Berbakat Istimewa di wilayah Yogyakarta pada TA. 2007/2008, kini kembali FPSB UII dipercaya untuk memberikan pendampingan bagi Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus dan Sekolah Pendidikan Layanan Khusus. Dalam program ini, FPSB UII telah melakukan koordinasi terhadap beberapa sekolah/sasaran yang akan diberi pendampingan, diantaranya adalah SLB Wiyata Dharma I, Wiyata Dharma II dan MAN SMU Berciri khas Agama Islam untuk Sekolah tingkat Menengah. Sedang untuk Sekolah tingkat Dasar akan diberikan kepada SLB Citra Mulia Mandiri, SLB Wiyata Dharma I dan SLB Wiyata Dharma II. Jenis program yang akan dilaksanakan nantinya mengacu pada kondisi siswa secara umum dan orangtua pada khususnya. Orientasi yang diharapkan dari kegiatan tersebut adalah untuk menambah pengetahuan orangtua tentang kondisi anak yang memiliki kebutuhan khusus dan mengoptimalkan kecerdasan emosional orangtua.
Tahapan implementasi program yang akan dijalankan pada bulan November s.d Desember 2008 ini diantaranya adalah ; 1. Pelatihan Kecerdasan Emosional Bagi Orangtua. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu orangtua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus dalam upaya mengembangkan dan mengoptimalkan kecerdasan emosionalnya, sehingga mampu mengatasi tekanan dan permasalahan yang timbul baik yang bersifat internal maupun eksternal dalam pengasuhan anak berkebutuhan khusus. 2. Seminar Psiko-edukasi Bagi Orangtua. Kegiatan ini bertujuan untuk memberi informasi kepada orangtua mengenai deteksi dini anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus serta cara menghadapi dan menangani anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Secara umum hasil yang ingin dicapai dari kegiatan tersebut adalah berupa peningkatan kualitas pada masing-masing lembaga pendidikan yang dijadikan sasaran kegiatan. FPSB UII sendiri telah menunjuk Uly Gusniarti, S.Psi., M.Si., Psikolog sebagai ketua pelaksana program pendampingan dan Pusat Psikologi Terapan FPSB UII sebagai mitra dalam pelaksanaan program tersebut.

Pendidikan Informal untuk semua

Pendidikan Informal Untuk Semua

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat anak-anak atau adik kita pulang sekolah, setelah jam sekolah usai, mereka kembali ke keluarga mereka di rumah, tetapi apakah anda pernah menyadari bahwa pendidikan terus berjalan, meskipun mereka telah pulang ke rumah?
Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan informal, dimana pendidikan tersebut berlangsung sejak anak tersebut dilahirkan dan mulai mengenal lingkungan sampai mereka beranjak dewasa. Pendidikan informal lebih menitikberatkan pada perkembangan afeksi, moral dan emosional. Secara biologis perkembangan afeksi dikendalikan oleh otak kanan yang banyak berperan pada kecerdasan spiritual, emosional, sosial, estetika dan kinestika, sehingga jika pendidikan informal benar-benar dilaksanakan dengan baik akan membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan dalam 3 ranah, yaitu afeksi, kognisi dan psikomotor. Dalam perkembangannya, banyak keluarga moderen yang lebih mementingkan perkembangan anak dari sisi kognisi, yang ditandai dengan diikutkannya anak mengikuti pelajaran tambahan (les) mata pelajaran tertentu yang dianggap bergengsi atau kursus-kursus ketrampilan lain.
Sejatinya, perkembangan ketiga ranah tersebut harus seimbang, sehingga tercapai keselarasan dalam hidup manusia, dan tidak ada lagi hacker, koruptor, atau teroris, karena mereka pada dasarnya adalah orang yang diberi kelebihan kognisi tetapi kurang (tidak punya) afeksi, sehingga cenderung merugikan dan membahayakan orang lain.
Seiring dengan kebijakan pemerintah yang mulai menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD) maka langkah awal yang dapat dilakukan untuk membentuk manusia seutuhnya dimulai dari keluarga, khususnya pada usia emas 0 - 6 tahun, dimana pada usia tersebut rangsangan atau stimulan bisa diberikan agar anak usia dini dapat berkembang lebih baik. Keluarga adalah dunia pendidikan informal yang utama dan seharusnya memberikan contoh baik yang sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat, agar kelak anak-anak mereka bisa berguna bagi bangsa dan negara.

Indonesia Dapat Dijadikan Laboratorium Hidup Pendidikan Inklusif

Indonesia Dapat Dijadikan Laboratorium Hidup Pendidikan Inklusif



Indonesia dapat dipromosikan menjadi laboratorium hidup pendidikan inklusif. Hal ini dilatarbelakangi oleh keragaman budaya, bahasa, agama, serta kondisi alam yang terfragmentasi secara geologis dan geografis.
"Indonesia adalah laboratorium terbesar dan paling menarik untuk (menghadapi) permasalahan dan tantangan pendidikan inklusif karena inilah negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000," kata Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Konferensi Asia Pasifik Pendidikan Inklusif di Hotel Sanur Paradise Plasa, Denpasar, Bali, Kamis (29/05/2008).
Hadir pada acara Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas (Dirjen Mandikdasmen) Suyanto, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Ka Balitbang) Depdiknas Mansyur Ramly, Sekretaris Ditjen Mandikdasmen Bambang Indriyanto, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Ekodjatmiko Sukarso, dan Ketua Harian Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO Arief Rachman.
Selain itu hadir Direktur Biro Pendidikan International (IBE) UNESCO Mrs. Clementina Acedo, Direktur UNESCO Kantor Bangkok Sheldon Shaeffer, dan para perwakilan 20 negara Asia Pasifik yang memberikan perhatian khusus pada pendidikan inklusif.
Mendiknas menyampaikan, pendidikan inklusif bukan hanya ditujukan untuk anak-anak cacat atau ketunaan, tetapi juga bagi anak-anak yang menjadi korban HIV/AIDS, anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah, anak-anak jalanan, anak-anak di daerah perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak korban bencana alam. "Anak-anak ini yang harus dilayani dengan Pendidikan Layanan Khusus (PLK)," katanya.
Mendiknas mengatakan, untuk menangani pendidikan inklusif di Indonesia maka diperlukan strategi khusus. Dia menyebutkan empat strategi pokok yang diterapkan pemerintah. Pertama, peraturan perundang-undangan yang menyatakan jaminan kepada setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh pelayanan pendidikan. Kedua, memasukkan aspek fleksibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal , dan informal.
Sementara strategi ketiga adalah menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Lalu strategi keempat adalah dengan mengoptimalkan peranan guru. Menurut Mendiknas, untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif dibutuhkan berbagai macam tipe guru yang ahli untuk segmen yang berbeda-beda seperti untuk anak jalanan, daerah perbatasan dan daerah terpencil. "Guru-guru semacam ini penting dan tentunya sistem insentif untuk guru juga menjadi sangat penting," katanya.
Mendiknas menjelaskan, berbagai sekolah khusus di Indonesia diantaranya adalah sekolah khusus untuk anak-anak cacat, yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Selain itu, didirikan juga pusat-pusat pendidikan layanan khusus di berbagai daerah seperti di daerah konflik dan daerah perbatasan. "Ada bahkan di Sarawak dan Sabah, Malaysia sekarang sedang dikembangkan suatu unit pelayanan khusus pendidikan nonformal untuk anak-anak TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ilegal yang bekerja di sana," katanya.
Clementina mengatakan, pendidikan inklusif merupakan pendekatan strategis untuk mencapai target pendidikan untuk semua atau education for all. Pendidikan inklusif, kata dia, menjadi isu utama di kawasan Asia Pasifik karena adanya berbagai macam perbedaan dan semakin menguatnya proses demokratisasi termasuk berkembangnya populasi anak-anak dan pemuda. "Perlu diterapkan peraturan yang fleksibel ke dalam sistem lokal sehingga memasukkan anak-anak yang terpinggirkan sekaligus memberikan berbagai macam pilihan untuk mereka," katanya.***

Ratusan Anak TKI di Serawak tidak bersekolah

Ratusan Anak TKI di Sarawak tidak Bersekolah
SERAWAK--Ratusan anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sudah berusia sekolah di Sarawak, Malaysia , tidak memperoleh layanan pendidikan. Mereka umumnya tinggal bersama orangtua yang bekerja di ladang-ladang perkebunan. “Data terakhir ada sekitar 400 anak, tapi saya yakin lebih dari itu,” tutur Rafail Walangitan , MA , Konsul Jenderal Republik Indonesia di Sarawak, Malaysia , Selasa (10/3).
Banyak TKI yang bekerja di wilayah Sarawak tidak melaporkan diri ke konsulat. Status mereka menjadi ilegal. TKI yang ilegal, menurut dia, karena banyak yang kabur dari majikan, sementara paspor mereka ditahan saat masuk bekerja. Rafail memperkirakan, ada sekitar 40 ribu TKI ilegal di wilayah ini, sementara TKI legal tercatat sebanyak 190 ribu orang.
Sebagian di antara para TKI itu memiliki anak usia sekolah. Anak-anak mereka selama ini tidak bisa mengenyam bangku pendidikan. Masalahnya, pemerintah Malaysia pada dasarnya tidak membenarkan pekerja membawa keluarga sehingga anak-anak yang lahir di sana menjadi ilegal dan sulit bersekolah di lembaga pendidikan formal di negeri itu. Selain itu, umumnya mereka bermukim jauh di perkebunan-perkebunan. “Kami tidak tahu kondisi yang ada di kebun. Itu sebabnya kami tidak dapat data pasti,” tutur Rafail.
Kondisi yang kurang lebih sama dialami oleh banyak anak-anak TKI di Sabah. Untuk mensiasatinya, sebagian TKI membangun lembaga pendidikan dalam komunitas sendiri. Mereka menggunakan ruang seadanya, seperti tempat ibadah dengan sistem pengajaran, tak lebih dari mengajarkan baca tulis dan hitung. Hanya saja, jumlahnya tidak banyak. Anak-anak itu pun sulit mendapatkan sertifikat untuk kelak bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya.
Saat ini, pemerintah Indonesia telah membangun Sekolah Indonesia Kota Kinibalu (SIKK) di Sabah. Diresmikan Desember 2008 lalu, sekolah ini berlokasi di sebuah ruko Kota Kinabalu untuk memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak TKI yang ada di sekitar kota ini. Selain itu, SIKK diharapkan menjadi induk bagi anak-anak TKI di kawasan perkebunan yang ada di pedalaman-pedalaman yang memperoleh layanan pendidikan, baik pendidikan nonformal, maupun pendidikan layanan khusus yang tidak diterima di sekolah formal.
Rafail menuturkan, berbagai upaya telah dilakukan untuk memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak TKI di Sarawak. Saat ini, katanya, telah dibentuk pusat bimbingan sebagai tempat pembelajaran kepada anak-anak TKI yang bekerja di sebuah perusahaan perkebunan di Sarengas, Serawak. Mulai beroperasi Januari 2009, pusat bimbingan ini diselenggarakan oleh serikat pekerja perusahaan bekerjasama Humana Child Aid Society, organisasi non-pemerintah di wilayah itu, untuk memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak pekerja.
Namun, menurut Rafail, pusat bimbingan ini masih menerapkan kurikulum pendidikan Malaysia . “Saya minta diajarkan ke-Indonesiaan,” tuturnya. Gayung bersambut, Hendry Gasha, Manajer Sumber Daya Manusia (SDM) perusahaan perkebunan itu, menyatakan tidak menutup kemungkinan untuk menerapkannya. Hendry mengatakan tidak keberatan kalau kurikulum Indonesia diterapkan di pusat bimbingan ini.
Selain itu, Rafail menyatakan pernah mengusulkan ke Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mendatangkan guru dari Indonesia untuk memberikan bekal pengetahuan pembelajaran kepada TKI yang dianggap memiliki pendidikan cukup untuk mengajarkan anak-anak mereka sendiri. Menurut dia, para TKI ada yang memiliki pendidikan cukup, bahkan ada yang sarjana. Jadi, polanya berbeda dengan di Kinibalu yang mendatangkan guru dari Indonesia untuk mengajar di SIKK.
Sebenarnya, menurut dia, pembelajaran antar sesama TKI sudah diterapkan di beberapa tempat selama ini. Pola itu tumbuh sendiri karena sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Hanya saja, pola pembelajaran di antara sesama TKI semacam itu belum dikelola secara khusus. “Saya tidak bisa membayangkan kalau mendatangkan guru, seperti halnya di SIKK,’’ tuturnya. Itu karena tempat mereka bekerja berada di pedalaman dan lokasinya terpisah.

ABK dilindungi Tiga Buah UU

ABK Dilindungi Tiga UUMALANG – Anak berkelakuan khusus (ABK) selama ini tidak hanya dilindungi UUD 1945. Namun, menurut Direktur Direktorat Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK) Depdiknas, Eko Koesoemadjati, juga dilindungi tiga undang-undang dan konvensi-konvensi yang bersifat internasional.''Ada tiga UU selain UUD 1945 yang melindungi anak-anak yang ''khusus'' itu. Di antara UU itu adalah UU Sisdiknas, UU Perlindungan Anak dan UU Hak Anak Cacat,'' jelas Direktur PKPLK depdiknas itu saat meresmikan Acesment Center dan mebuka Pagelaran Karya dan Prestasi Anak Bangsa di UMM Dome, Jumat (13/3).Dia menjelaskan bahwa yang melindungan anak-anak ''Khusus'' karena tuna netera atau memiliki kekurangan secara mental itu tidak hanya UU. Namun, banyak konvensi internasional yang juga melindunginya.Makanya, dia menyarankan bila ada orang yang tidak peduli terhadap anak-anak ''Khusus'' itu agar dilaporkan kepada polisi. ''Sebab, ada undang-undangnya,'' terang dia sembari menyarankan agar bila ada lembaga yang ingin mengembangkan dan mengelola anak-anak ''khusus'' ini tidak perlu ragu-ragu. Alasannya, selain anak-anak tersebut dilindungi tiga UU dan UUD 1945 serta konvensi internasional, masalah kepedulian dair pemerintah dikatakan tidak perlu diragukan. Menurut dia, lembaga pendidikan untuk anak khusus itu disediakan anggaran tersendiri.Bahkan, diyakini dia bila bagi pengelola lembaga pendidikan anak khusus ini bakal ada saja dana yang mengalir. Karena itu, dia berharap agar masyarakat, khsusnya para guru dan pengelola secara tulus memberikanpendidikan dan layanan khusus agi anak-anak yang membutuhkan perlakuan khusus tersebut.Hal senada juga diungkapkan Rektor UMM, DR Drs Muhadjir Effendy MAP. Dia mengatakan bahwa anak-anak ''khusus'' itu memang secara kondisi fisik dan atau mental kurang beruntung dibandingkan dengan anak-anak normal biasanya.''Bagi yang secara tulis berbakti mendidik anak-anak khusus ini, insyaa Allah akan mendapatkan pahala dari Allah Swt. Sebab, itu menjadi amal saleh bagi para guru dan pengelola yang dengan tulus mendidik anak-anak kurang beruntung itu,'' jelas dia ketika memberikan sambutan dalam acara Gelar karya dan prestasi Anak Bangsa dari anak-anak ''khusus'' itu. Dalam acara tersebut diiikuti sekitar 60 lembaga PKPLK se jawa Timur dari 400 lembaga yang ada. Menurut Wakil Ketua Panitia Pelaksana, M Shohib, dalam kegiatan ini ada banyak kegiatan yang dilaksanakan. Dia sebutkan, seperti semeinar nasional, gelar Karya dan Prestasi Anak bangsa serta Pameran hasil karya dfari anak-anak berkelakuan khusus tersebut.Dia mengatakan bahwa untuk mendidikan anak-anak khsusu itu memang diperlukan pendidikan dan pelayanan khusus. Alasannya, mereka merupakan anak-anak yang khusus. Makanya, kata dia, banyak kendala yang dihadapi lembaga PLPLK ini.Persoalan yang menjadi kendala itu, kata dia, sumber daya manusia dan juga maslah infrastruktur. ''SDM yang ada sangat terbatas. Begitu juga fasilitas yang dibutuhkan. Padahal, mereka membutuhkan pelayanan khusus. Termasuk juga maslah kurikulum pendidikan bagi mereka,'' jelas dosen Psikologi UMM ini.Karena itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Bimbingan Konseling (BK) UMM, M Salis Yuniardi Mpsi tidak membantah bila masalh kurikulum pendidikan yang ada selama ini menyulitkan bagi anak-anak khusus ini. Sebab, anak-anak khusus itu membutuhkan perlakuan khusus sesuai dengan keterbatasanmereka. Selain itu, kurikulum tersebut juga harus menghargai potensi dan mampu membangun optimisme mereka. Sehingga, mereka bisa berkembang sesuai dengan potensi yang dimiliki di balik kekurangannya.

Pendidikan Formal vs Informal:Pentingan mana ?

PendidikFormal vs Informal; Penting Mana?

Pagi hari menonton acara diskusi MetroTV soal pentingnya pendidikan, dan diskusi terbuka via telpon mengenai perlunya pendidikan tinggi, kaitannya dengan mahalnya biaya pendidikan tinggi saat ini, menampilkan beberapa contoh termasuk Bapak Sony Sugema, pengusaha bimbingan belajar, yang (saya baru tahu) ternyata tidak sempat lulus karena keterbatasan biaya dahulu ketika mengenyam pendidikan tinggi.
Diskusi mengalir dengan agak flat out, karena sang narasumber terlihata “agak” menekankan pentingnya ilmu disiplin dia relatif terhadap pertanyaan pendengar. Terlepas dari diskusi yang ada, kajian ini cukup menarik, karena relevansi terhadap perubahan dunia saat ini.
Menurut hemat saya, point pendidikan ini cukup menarik, mengingat kita sebagai negara memiliki status “tertinggal” di dalam banyak hal. Dan salah satu reputasi yang “tidak enak” dalam percaturan dunia adalah… sedemikian apa pun tingkat intelektualitas kita, nilai executive Indonesia akan terkompensasi lebih rendah dibandingkan dengan executive luar. Fakta yang menyedihkan.
Nah penting mana sih pendidikan formal atau informal? Menurut pandangan saya, keduanya memegang peranan penting. Pendidikan formal penting, non formal juga sama pentingnya, dapat memperoleh keduanya juga suatu anugerah. Bagaimana dengan yang tidak beruntung memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan tinggi karena faktor biaya? Hmm rasanya ini merupakan PR utama pemerintah disamping gerakan swasembada yang bisa dilakukan masyarakat untuk mengulurkan tangan.
Namun kok masih terasa kental atmosfir lulusan pendidikan tinggi kita sangat tidak siap dengan dunia kerja yang merupakan dunia sebenarnya yang akan ditempuhnya sebagai sandaran hidup di sepanjang sisa hidupnya? Apakah pendidikan kita saat ini sudah sangat tidak berorientasi dengan dunia kerja? (terlepas dari pendidikan-pendidikan kejuruan/keahlian yang lebih “siap pakai”)?
Bagaimana menurut pandangan anda?

Benahi Manajemen Pendidikan Tinggi

Benahi Manajemen Pendidikan Tinggi

Persoalan seleksi bagi mahasiswa baru yang akan memasuki perguruan tinggi negeri menjadi sebuah persoalan baru. Kabar bahwa sebagian besar PTN yang sebelumnya bergabung ke dalam satu sistem itu kemudian memilih melakukan sendiri seleksi dan penerimaan mahasiswa barunya, mengemuka. Akhirnya memang belum diputuskan bagaimana mengatasi hal tersebut. Titik krusialnya adalah bagaimana supaya calon mahasiswa dapat memilih PTN yang diminatinya tanpa harus berada di tempat PTN tersebut berada. Memang pengelolaan pendidikan tinggi tidak mudah. Tetapi seleksi untuk memasuki PTN barulah satu masalah dari sekian banyaknya masalah yang mendera pendidikan tinggi kita.
Salah satu masalah mendasar yang belum juga dipecahkan adalah bagaimana menciptakan lulusan yang bisa memasuki pasar kerja, tanpa harus menganggur. Angka pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi memang masih cukup tinggi. Setiap tahunnya terdapat 4 jutaan lulusan perguruan tinggi yang memasuki pasar kerja, sementara hanya sedikit saja lapangan kerja yang terbuka bagi mereka.
Dulu pemerintah pernah punya konsep link and match. Konsep ini dikembangkan oleh mantan Menristek BJ Habibie berdasarkan pengalaman pengelolaan pendidikan di Jerman. Konsep ini menggunakan logika demand and supply. Pendidikan tinggi tidak dikelola demikian rupa seperti sekarang ini dimana semua jurusan dibuka, bahkan jurusan yang dibuka lebih banyak daripada yang ditutup. Mereka yang memasuki pendidikan tinggi diberikan nilai tambah sehingga ketika lulus mereka siap untuk bekerja pula.Hanya sayangnya, konsep ini kemudian dimentahkan oleh perubahan politik. Konsep yang dulu pernah menjadi sangat populer itu kemudian hilang begitu saja dan pendidikan tinggi kita terjebak ke dalam fenomena industrialisasi pendidikan tinggi. Maksudnya adalah pendidikan tinggi dijadikan sebagai alat mencetak sebanyak mungkin lulusan karena dianggap sebagai upaya mencerdaskan bangsa, sementara keterkaitannya dengan pasar kerja sama sekali tidak pernah dipikirkan.
Yang kemudian terjadi adalah, dan ini juga merupakan masalah besar, pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin lama semakin terlihat bahwa upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa berjalan tidak sebanding dengan harapan kita mengenai tercapainya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Di setiap PTN sekarang ada berbagai kelas yang sangat variatif, dan terkadang membedakan kemampuan calon mahasiswanya. Perbedaan itu ditengarai menjadi pemicu perbedaan kualitas pendidikan. Yang paling parahnya, mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak memiliki kesempatan melalui skema subsidi silang yang banyak diberikan oleh PTN. PTN tidak sanggup mendanai mereka yang tidak memiliki uang, terlebih PTN yang telah menjadi BHMN.
Akumulasi persoalan pendidikan, sejak dari seleksi sampai dengan outputnya kita kuatirkan akan menciptakan efek domino yang kelak akan menghasilkan gelombang pengangguran intelektual. Mereka yang berpendidikan tetapi tidak bekerja jelas lebih “berbahaya” dibandingkan dengan mereka yang tidak.
Skema Coorporate Social Responsibility (CSR) yang sudah mulai dijalankan oleh beberapa perusahaan sebenarnya bisa divariasikan dengan mempekerjakan para lulusan pendidikan tinggi. Perusahaan yang juga memiliki CSR bisa menjadikan lulusan perguruan tinggi sebagai bagian dari komitmen mereka mengatasi masalah sosial di wilayahnya. Yang paling penting, membenahi tujuan, arah dan pola pengelolaan pendidikan tinggi kita adalah sebuah pekerjaan rumah yang harus dikerjakan segera.

Perguruan Tinggi di Indonesia

Perguruan tinggi di Indonesia
Di Indonesia, perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan akademik, profesi, dan vokasi dengan program pendidikan diploma (D1, D2, D3, D4), sarjana (S1), magister (S2), doktor (S3), dan spesialis.
Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni. Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Pengelolaan dan regulasi perguruan tinggi di Indonesia dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Rektor Perguruan Tinggi Negeri merupakan pejabat eselon di bawah Menteri Pendidikan Nasional.
Selain itu juga terdapat perguruan tinggi yang dikelola oleh departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen, yang umumnya merupakan perguruan tinggi kedinasan. Misalnya, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara dikelola oleh Departemen Keuangan.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Perguruan_tinggi"

Rabu, 18 Maret 2009

REDIP sebagai Model untuk Meningkatkan Pendidikan Menengah Pertama

Program Pengembangan dan Peningkatan Pendidikan Daerah atau Regional Education Development and Improvement Program (REDIP) dapat dijadikan model untuk meningkatkan pendidikan menengah pertama.
REDIP adalah program sederhana, tetapi komprehensif yang memungkinkan sekolah dan kecamatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri sesuai dengan aspirasi dan prioritas mereka sendiri. Meskipun sederhana, program ini dapat meningkatkan akses, mutu, dan manajemen secara bersamaan. Program REDIP ini memberikan dana bantuan kepada sekolah dan tim pengembangan pendidikan kecamatan (TPK) sesuai proposal yang diajukan. Sekolah dan TPK bebas mengusulkan kegiatan apa saja sesuai kebutuhan dan prioritas mereka sendiri.
Dengan menggunakan dana bantuan, sekolah dan TPK melaksanakan kegiatan yang diusulkan. Sesudah menyelesaikan kegiatan, sekolah menyusun laporan keuangan dan laporan kegiatan lalu menyerahkannya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk diperiksa. REDIP mendorong mengambil inisiatif dan mempertanggungjawab kan usaha sekolah sendiri dalam meningkatkan pendidikan dan berfungsi sebagai pengamat pasif.
Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Sekolah Direktorat Pembinaan SMP Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Kasubdit Kelembagaan Sekolah Dit. PSMP Ditjen Mandikdasmen) Depdiknas, Yenni Rusnayani mengatakan, sejak 2005 Depdiknas telah mengadopsi program ini dengan bantuan teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA).
Program ini sampai 2008 telah dikembangkan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, dan Kabupaten Bekasi mencakup 32 kecamatan dari sebanyak 391 SMP negeri dan swasta. Yenni mengatakan, program REDIP, yang kemudian diubah menjadi program pengembangan SMP berbasis masyarakat (PSBM) sangat cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang menghendaki penyelenggaraan pendidikan melalui prinsip bottom-up, desentralisasi penyelenggaraan, dan partisipasi masyarakat.
"Program PSBM memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan oleh kepala sekolah dan juga memberikan dampak untuk peningkatan mutu pembelajaran, " katanya pada REDIP Workshop dan Expo di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (8/07/2008).
Kepala Seksi Perencanaan Subdit Program Dit. PSMP Ditjen Mandikdasmen Depdiknas, Supriano mengatakan, hasil yang dicapai melalui program ini adalah terjadinya perubahan pada sekolah, kecamatan, dan masyarakat. Dia mencontohkan, manajemen di sekolah menjadi demokratis dan transparan, pihak kecamatan yang semakin proaktif kepada pendidikan, dan masyarakat lebih peduli terhadap pendidikan.
"Orang tua mendukung apa yang dikembangkan oleh sekolah. Semua kegiatan di sekolah selalu dikomunikasikan dan pengembangan sekolah dibicarakan dengan orang tua murid," katanya. Dia menyebutkan, program REDIP Government (REDIP G) yang didanai 100 persen APBN sampai 2008 sudah mengalokasikan anggaran hampir Rp. 45 milyar untuk tiga kabupaten yakni Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Selain REDIP G, kata dia, juga ada program REDIP Mandiri yang didanai oleh APBD, REDIP Pengembangan, dan REDIP Perluasan Pelaksanaan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah Munthoha Nasuha mengatakan, implementasi program REDIP sejak 1999 dimulai dari dua kecamatan, kemudian berkembang menjadi sepuluh kecamatan, dan seluruhnya sebanyak 17 kecamatan."Awalnya program difokuskan pada bidang manajemen sekolah dengan pola transparansi, sehingga semua rencana anggaran dipaparkan di papan dan di pintu masuk sekolah," katanya. Konsultan Nasional REDIP Winarno Surachmad, mengatakan, karakteristik Program REDIP adalah mudah, murah, tanpa resiko, dan low tech.
"REDIP menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan pendidikan di daerah berdasarkan kekuatan dari bawah, tanpa duit, dan tanpa ahli," katanya. Ketua Tim REDIP-JICA, Norimichi Toyomane mengatakan, indikator yang memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil yakni, meningkatnya nilai Ujian Nasional, meningkatnya motivasi siswa untuk sekolah, meningkatnya motivasi guru dalam proses belajar mengajar dan juga motivasi dari kepala sekolah dalam memanajemen sekolahnya.

Sekolah menengah pertama formal

Sekolah Menengah Pertama (disingkat SMP), adalah jenjang pendidikan dasar pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (atau sederajat). Sekolah Menengah Pertama ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 7 sampai Kelas 9. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini pernah disebut Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Murid Kelas 9 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Menengah Pertama dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas atau Sekolah Menengah Kejuruan (atau sederajat).
Pelajar Sekolah Menengah Pertama umumnya berusia 13-15 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Sekolah Menengah Pertama diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Menengah Pertama Negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Menengah Pertama Negeri merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan kabupaten/kota.

pendidikan menengah

Sekolah Menengah Atas
Sekolah Menengah Atas (disingkat SMA), adalah jenjang pendidikan menengah pada pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat). Sekolah Menengah Atas ditempuh dalam waktu 3 tahun, mulai dari Kelas 10 sampai Kelas 12. Pada tahun ajaran 1994/1995 hingga 2003/2004, sekolah ini disebut Sekolah Menengah Umum (SMU).
Pada tahun kedua (yakni Kelas 11), siswa SMA dapat memilih salah satu dari 3 jurusan yang ada, yaitu Sains, Sosial, dan Bahasa. Pada akhir tahun ketiga (yakni Kelas 12), siswa diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Menengah Atas dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau langsung bekerja.
Pelajar Sekolah Menengah Atas umumnya berusia 15-18 tahun. SMA tidak termasuk program wajib belajar pemerintah - yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun - maskipun sejak tahun 2005 telah mulai diberlakukan program wajib belajar 12 tahun yang mengikut sertakan SMA di beberapa daerah, contohnya Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul.
Sekolah Menengah Atas diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Menengah Atas Negeri di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Menengah Atas Negeri merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan kabupaten/kota.

pendidikan menengah

Saya tengah menulis disertasi tentang pendidikan menengah di Indonesia. Pada bab 2 saya mencoba membuat studi komparasi antara pengertian, perkembangan/perubahan pendidikan menengah selama masa penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, Repelita, dan reformasi. Objek kebijakan yang saya kaji adalah UU Sisdiknas dari tahun 1950, 1989 dan 2003, beserta PP, Permen, Kepmen lain yang terkait.
Untuk menganalisa topik itu saya secara umum menggunakan referensi dari dua buku utama yaitu 50 tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 karangan Bapak H.A. R Tilaar (1995) dan buku 50 tahun Pendidikan di Indonesia yang dibuat pada jaman Mendikbud Wardiman Djoyodiningrat (1996). Selain itu beberapa literatur supplement dari jurnal.
Kedua buku menguraikan secara rinci sejarah pendidikan di Indonesia. Definisi tentang pendidikan dasar dan pendidikan menengah juga disebutkan dengan jelas dalam UU no 4 tahun 50, tetapi wording menjadi unclear dalam UU no 2 tahun 1989 dan UU no 20 tahun 2003.
Sayangnya saya tidak bisa mengakses online karya-karya di IKIP/UP di Indonesia, sehingga saya tidak mendapatkan apakah sudah ada yang menganalisa perubahan ini dengan detil. Saya minta tolong kepada Pak Dedi Dwitagama, karena saya tahu beliau punya relasi yang luas di dunia pendidikan.
Untuk membandingkan ketiga UU secara komprehensive, saya menggunakan metode/aspek/dimensi yang digunakan R Murray Thomas dalam sebuah papernya ketika menganalisa maturity UU no 20/1989.
Jika menyoroti pengertian pendidikan dasar dalam UU 50 yang disebut dengan pendidikan rendah, definisinya sangat jelas, bahwa level ini adalah level untuk menumbuhkan minat, mengasah kemampuan pikir, olah tubuh dan naluri. Sedangkan pendidikan menengah adalah pendidikan yang lebih mengarah kepada persiapan kerja dan lanjut ke PT. Berikut ini uraiannya,
Pendidikan dan pengadjaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannnya, kecakapan dan ketangkasan, baik lahir maupun bathin.
Pendidikan dan pengadjaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran jang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengadjaran tinggi.
Definisi ini menjadi disederhanakan dalam UU no 2/1989.
Seperti berikut ini :
Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.
1. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
Adapun UU no 20 tahun 2003 menyebutkan seperti ini :
(1)Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(1)Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah Menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
UU 1989 dan 2003 memang dilengkapi dengan ayat bahwa hal-hal yang belum jelas akan dirincikan dalam PP, namun PP terakhir tentang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang saya ketahui adalah PP no 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar, dan saya belum menemukan PP tentang pendidikan menengah.
Tapi dari pendefinisian yang termaktub dalam UU di atas, secara objektif kita dapat mengatakan bahwa definisi UU 50 lebih rasional dan lebih menyentuh esensi pendidikan, yaitu pendidikan tiga dimensi, tubuh, jiwa, dan otak. Bakat dan kesukaan sebagai sebuah hal yang mulai diabaikan saat ini karena semua anak harus digiring menuju arena kompetisi, tidak disebutkan dengan jelas pembinaannya dalam UU selanjutnya. UU 1989 dan 2003 memberikan beban lebih kepada anak yang belajar di level pendidikan dasar untuk siap menjadi anggota masyarakat, yang sama sekali tidak disebutkan dalam UU 1950.
Pendidikan menengah pda ketiga UU tidak mengalami perubahan yang berarti dalam pemaknaan. Tetapi terjadi perubahan dalam kategori sekolah pada jenjang pendidikan. Yaitu, dalam UU 1950, pendidikan dasar adalah SD. Sedangkan dalam UU 1989 dan 2003 pendidikan dasar adalah SD dan SMP serta sekolah yang sederajat. Pendidikan menengah adalah SMA, yang semula pada UU 1950, terdiri dari SMP dan SMA.
Perubahan itu barangkali terjadi karena program wajib belajar 9 tahun. Program wajar dalam UU terbaru disebutkan sebagai program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Penggolongan baru ini menimbulkan beberapa pertanyaan : apakah pendidikan di level SMP dapat dikatakan sebagai materi pendidikan dasar ? Jika ya, maka mengapa penamaan sebagai sekolah menengah masih dipakai ? Jika ini dimaksudkan untuk mensukseskan wajib belajar, maka seharusnya SD dan SMP digabungkan, sehingga masalah yang muncul dalam transisi SD ke SMP dapat teratasi (penelitian McClean, 2002 tentang kondisi di Eropa). Konsekuensi lain dalam penggabungan adalah perlu dilakukan perubahan dalam proses penerimaan siswa setelah lulus SD. Yaitu, tidak perlu ada rayonisasi atau seleksi sekolah, tetapi harus dibuat lokalisasi SD dan SMP. Sebagai contoh siswa SD di kecamatan/kelurahan A hanya boleh mendaftar di SMP kecamatan/kelurahan A, dengan tanpa dipungut uang masuk dan SPP.
Proses lokalisasi akan menghemat pengeluaran penduduk untuk biaya pendidikan dan menjamin semua anak lulusan pendidikan formal, non formal dan informal level SD dapat diterima di SMP di lokasinya.
Saya masih belum menemukan alasan yang tepat tentang perubahan penggolongan pendidikan dasar dan menengah selain alasan penyuksesan program wajar, barangkali di antara pembaca ada yang punya analisa lain ?

Menakertrans menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20%

Jakarta) - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) menilai alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen ada ketimpangan. Pasalnya, seluruh dana tersebut hanya dikucurkan pada sektor pendidikan formal, padahal pendidikan tidak serta merta ada di struktur formal.

"Semangatnya UUD 1945, 20 persen alokasi anggaran diterjemahkan untuk pendidikan, jadi sepenuhnya untuk depdiknas. Padahal struktur pendidikan ada formal, informal dan non formal," jelas Erman pada wartawan dalam Rakor Nasional Depnakertrans tahun 2008 di Jakarta, Selasa (26/8).

Menteri menguraikan, untuk pendidikan formal memang menjadi tanggung jawab departemen pendidikan nasional, sedangkan informal ada di depnakertrans. "Dan untuk sektor pendidikan nonformal biasanya ada di masyarakat," ujarnya.

Untuk itu, lanjutnya, sektor pendidikan yang perlu dibantu adalah pendidikan informal. Misalnya, ada pelatihan untuk pengangguran, tapi dananya tidak ada yang dialokasikan untuk pendidikan semacam ini. Kemudian, ada sekelompok masyarakat yang ingin mengadakan pelatihan jurnalistik profesional, anggaran dana juga tidak ada.

Jika semua anggaran 20 persen hanya dialokasikan untuk depdiknas, Erman menegaskan, "Itu artinya politik anggaran UUD 1945 tidaklah tepat," tandasnya. (Mimie/IOT-03)

Pendidikan Informal Akan Diintegrasikan

Jakarta, Sinar Harapan
Untuk menyesuaikan dunia pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja, Departemen Pendidikan Nasional berencana mengintegrasikan pendidikan informal dengan pendidikan formal pada tingkat sekolah menengah.
Pendidikan informal, menurut Mendiknas Bambang Sudibyo, lebih memenuhi kebutuhan masyarakat (demand driven). Karena itu, jika lulusan sekolah menengah juga dibekali dengan pendidikan informal, mereka akan lebih memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Demikian disampaikan Mendiknas Bambang Sudibyo seusai membuka rapat kerja nasional Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) di Jakarta, Senin (20/12).
”Pelan-pelan, sekolah menengah kita dorong untuk menerapkan sistem kredit supaya hasil-hasil kursus pendidikan informal bisa ditransfer ke pendidikan formal. anak-anak SMA kita dengan demikian bisa memiliki keterampilan, kecakapan hidup yang bisa mereka peroleh dari pendidikan informal,” ujar Bambang Sudibyo.
Sebagai langkah awal, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah yang berisi pengakuan terhadap pendidikan informal dan mengatur bagaimana mentransfer hasil pendidikan informal kepada pendidikan formal.

Akreditasi
Lembaga-lembaga pendidikan informal yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, lanjut Bambang, sebelumnya harus melalui proses akreditasi melalui badan-badan yang ditunjuk oleh Depdiknas. Saat ini, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Depdiknas sudah memiliki sejumlah badan yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang menangani akreditasi.
”Tentunya, nanti ada proses akreditasi. Kalau pemerintah bermaksud mentransfer pendidikan informal ke pendidikan formal, pemerintah memiliki kebutuhan untuk mengontrolnya melalui akreditasi. Kita sudah memiliki beberapa lembaga yang selama ini mengembangkan program kecakapan hidup. Saya kira itu bisa menjadi embrio lembaga yang akan menangani akreditasi,” katanya.
Mengenai pendidikan informal seperti apa yang akan diintegrasikan ke dalam pendidikan formal, Bambang mengatakan bahwa hal itu terserah pada ma-sing-masing sekolah. Sesuai UU Sisdiknas, kurikulum efektif diramu oleh masing-masing sekolah sedangkan pemerintah hanya memberikan garis besarnya saja.
Bambang dalam kesempatan sama juga mengatakan bahwa pendidikan informal yang saat ini kualitasnya sudah bagus dan bisa langsung diintegrasikan dengan pendidikan formal antara lain adalah pendidikan informal yang diberikan oleh lembaga-lembaga yang berada di bawah Dirjen PLSP Depdiknas. Jumlah lembaga pendidikan informal di bawah Dirjen PLSP saat ini 2500, dengan jenis kursus 131.

(sumber www.sinarharapan.co.id)

Perhatian Khusus pada Pendidikan Khusus.

KabarIndonesia - Beberapa waktu yang lalu saya berkesempatan menghabiskan waktu dan merayakan hardiknas bersama siswa-siswi sekolah luar biasa Siswa Budhi Surabaya. Berdasarkan refleksi diri dari pengalaman berharga itulah artikel singkat ini ditulis.

Sejak diberlakukannya UU No.20/2003 tentang Sisdiknas, maka sejak saat itu istilah pendidikan luar biasa berganti nama menjadi pendidikan khusus, demi memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa itu sendiri. Namun sayang, meski istilahnya telah berubah, perhatian pemerintah maupun stigma keterbelakangan di masyarakat toh tidak juga berubah. Malah makin memarginalkan kaum yang sudah termarginalkan ini.

Contoh nyata yang dilakukan masyarakat misalnya masih adanya tindak diskriminatif terhadap penyandang cacat. Bahkan saya masih menemukan orang tua yang menganggap kurang penting menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus (SLB). Lantas, masih pantaskah kita menuntut mereka untuk mandiri dan berguna bagi masyarakat / lingkungannya jika kita sendiri enggan membukakan peluang bagi mereka untuk berkembang?

Sedang contoh ketidak-adilan yang dilakukan pemerintah lebih kompleks lagi. Mulai dari ketidak tersediaan fasilitas hingga kurangnya perhatian akan kesejahteraan guru pendidikan khusus. Padahal dalam pendidikan khusus jelas dibutuhkan perhatian yang khusus pula. Diperlukan perhatian yang luar biasa pula untuk memperbaiki kualitas layanan pendidikan luar biasa.

Menyedihkan sekali melihat di sekolah luar biasa yang sempat saya cicipi itu tidak ditunjang dengan fasilitas-fasilitas yang sebetulnya sangat diperlukan oleh masing-masing ketunaan. Misalnya, tidak tersedia ruang bina persepsi dan kedap suara bagi anak-anak tunarungu, tidak ada juga ruang latihan orientasi mobilitas dan mesin braille bagi anak-anak tunanetra, bahkan permainan khusus bagi anak-anak tuna grahita pun tidak ada, semua itu karena keterbatasan dana. Tanpa penyediaan fasilitas-fasilitas itu, sangat mustahil kiranya untuk meningkatkan aksesibilitas, partisipasi, dan kesempatan belajar anak-anak berkebutuhan khusus ini.

Sudah saatnya kita semua serius dalam usaha peningkatan mutu pendidikan khusus. Supaya mereka dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu bersaing dengan anak-anak normal lainnya. Hal ini bisa diwujudkan dengan banyak cara, diantaranya pembangunan fasilitas, sarana dan prasarana pendidikan yang sesuai dengan tiap-tiap ketunaan, mengembangkan kurikulum berstandar nasional, termasuk meningkatkan kualitas para pengajar di pendidikan luar biasa.

Pemerintah wajib memberi peluang yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus ini untuk memperoleh pendidikan terpadu dan sesuai dengan karakteristik ketunaannya.

Jika kita mau mencoba melihat dunia dengan kacamata mereka, tentunya kita akan temukan dunia yang berbeda. Mereka mungkin berkelainan, mereka mungkin tidak beruntung, baik secara fisik, sosial, ekonomi, ataupun kultural. Tapi mereka juga anak-anak manusia, yang juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama terbukanya seperti kita untuk mengenyam pendidikan yang layak.

Those who seems unfortunate are those who have more hidden wisdom. Give them chance, they will give you more.

Nurma Cholida, penulis di majalah Genta. Mahasiswa Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu Komunikasi, UK Petra Surabaya.

Penyelenggaraan Pendidikan Khusus di Daerah Khusus

erkelainan berada di seluruh pelosok tanah air, termasuk di daerah khusus; sedangkan sekolah khusus untuk anak berkelainan (SLB) jarang ditemukan, bahkan tidak ada di daerah khusus, sehingga banyak anak berkelainan dari keluarga yang kurang mampu ekonominya tidak bersekolah karena kesulitan menyekolahkan ke daerah lain. Selain itu, sekolah terdekat (SD/SMP) pada umumnya tidak bersedia menerimanya karena ketidaktahuan cara melayaninya. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus akan menghambat progam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar. Oleh karena itu, pemerintah perlu menyelenggarakan pendidikan khusus di daerah khusus yang dapat dilaksanakan dalam bentuk: (a) penyelenggaraan sekolah atau madrasah kecil; (b) penyelenggaraan sekolah atau madrasah terbuka; (c) penyelenggaraan pendidikan jarak jauh; (d) penyelenggaraan sekolah atau madrasah darurat; (e) program tugas belajar ke daerah lain. Penempatan anak berkelainan pada masing-masing sekolah atau madrasah dapat dilakukan dengan berbagai model: (a) kelas reguler tanpa tambahan bimbingan khusus; (b) kelas reguler dengan tambahan bimbingan khusus di dalam; (c) kelas reguler dengan tambahan bimbingan khusus di luar; (d) kelas khusus dengan kesempatan berada di kelas reguler; (e) kelas khusus penuh; (f) sekolah khusus (berasrama/panti); atau (g) tempat khusus. Setiap daerah khusus dapat memilih alternatif penempatan anak berkelainan, yang didasarkan pada: (a) jumlah anak berkelainan yang akan dilayani; (b) jenis kelainan masing-masing anak; (c) gradasi (tingkat) kelainan anak; (d) ketersediaan dan kesiapan tenaga kependidikan, serta (e) sarana-prasarana yang tersedia.

Kerajinan Peraga Pendidikan Khusus Anak

PDF

Print

E-mail

Masa kanak - kanak adalah masa yang paling menyenangkan. Anak yang tumbuh dengan kasih sayang dan pendidikan yang baik. Akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang mandiri dan sesuai harapan orangtua.

Berbagai media pendidikan kini banyak dibuat khusus untuk anak -.anak. Dan ini rumahnya menjadi ladang bisnis tersendiri bagi Ibu Ida, salah satu pengusaha mainan anak dan alat peraga TK ini.

Rupanya pendidikan anak dan alat peraganya menjadi sumber inspirasi bisnis. Kini usahanya makin berkembang, dan sedikitnya lebih dari 40 karyawan kini aktif menjadi salah satu aset perusahaan yang ia kelola.

Berbagai jenis mainan anak TK. Yang bernuansa edukatif ada disini. Seperti puzzle, binatang, dan tumbuhan. Balok - balok mainan, replika, mobil, ayunan, buku pelajaran hingga, peralatan bermain musik dan olah raga. Bisa dibuat di pabrik yang luasnya sekitar lima ratus meter persegi ini.

Keunggulan produk, mainan ini, adalah semua desain dan bahan nya menggunakan produk local. Hampir semuai pengerjaan berbagai model mainan anak dilakukan dengan cara hand made.

Hasil dari tangan tangan terampil para pekerja sekitar. Mainan yang di buat cukup beragam, dan semuanya bernuansa edukatif.

Proses pembuatan berbagai model mainan dan alat peraga pendidikan ini, cukup sederhana. Dimulai dengan proses pemolaan yang sudah jadi di dalam kertas seketsa. Sesuai peruntukannnya. Semua bahan di potong dan dihaluskan diruangan khusus. Untuk mainan dari kayu.

Bahan kayu bisa digunakan kayu dari jenis albasia. kayu pinus maupun kayu olahan seperti kayu mdf. Bahan - bahan itu dipotong dengan gergaji mesin sederhana.

Kemudian dirangkai dan dihaluskan satu persatu. Setelah barang sudah menjadi rangka setengah jadi. Maka tibalah ke proses finising atau, pewarnaan.

Di tempat ini. Barang - barang yang sudah setengah jadi tersebut, diperhalus dan diberi warna. Pemakaian warna - warna mencolok yang berani. Sangat disukai anak – anak. Sehingga berbagai jenis puzzle atau balok mainan ini terlihat

berwarna cerah dan menarik perhatian.

Tiap minggunya, tak kurang dari lebih dari seratus pesanan barang, kerap dipenuhi, CV Hanimo ini untuk memenuhi beragam keperluan alat peraga sekola TK senusantara. Berbekal ketekunan dan kesabaran menjalani usaha. Kini usaha Ibu Ida. Telah bisa menghidupi sedikitnya lima puluh orang karyawan berikut keluarganya.

Pemerintah Lamban Atasi Pendidikan Khusus


JAKARTA (Media): Perhatian pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus atau special needs masih sangat minim.

Padahal, jumlah anak dengan kebutuhan khusus yang menderita cacat seperti tuna netra, autistik, down syndrome, keterlambatan belajar, tuna wicara serta berbagai kekurangan lain, jumlahnya terus bertambah.

Pikiran di atas mengemuka dari Torey Hayden, pakar psikologi pendidikan dan pengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus asal Inggris (Kuliah Bahasa Inggris), yang juga telah menerbitkan buku berisi pengalamannya mengajar di Jakarta, kemarin.

Hayden mengungkapkan, jumlah anak dengan kebutuhan khusus di seluruh dunia terus bertambah. Kondisi serupa diperkirakan juga terjadi di Indonesia. Ia mencontohkan, diperkirakan penderita autisme di dunia mencapai satu dari 150 anak.

"Itu baru penderita autis saja, belum berbagai kekurangan lain. Berdasarkan penelitian diperkirakan jumlah anak dengan special needs, dan kriteria lain juga terus bertambah pesat, diduga terkait dengan gaya hidup dan kontaminasi berbagai polutan," ungkap Hayden yang sembilan bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia itu.

Hayden menegaskan, idealnya pemerintah memberikan perhatian pada anak-anak dengan kebutuhan khusus, sama besarnya seperti yang diberikan pada murid-murid normal. Pasalnya, sebagian anak dengan kebutuhan khusus itu memiliki potensi intelektualitas yang tidak kalah dibandingkan teman-temannya sebayanya. Selain itu, pendidikan yang memadai serta disesuaikan dengan kebutuhan mereka juga akan membuat anak-anak tersebut, dapat hidup dengan wajar serta mengurangi ketergantungannya pada bantuan keluarga dan lingkungannya.

Namun, lanjut Hayden, dengan minimnya pendidikan yang diberikan pada mereka, anak-anak yang telanjur dicap cacat itu, justru akan menjadi beban sosial yang akan merepotkan keluarga dan lingkungannya. "Selain dibutuhkan jumlah sekolah yang memadai untuk mereka, juga diperlukan pola pendidikan yang tepat. Selain tentunya guru yang memadai dan benar-benar mencintai mereka," ujar penulis buku terlaris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil, yang rencananya hari ini penulis yang kini tinggal di North Wales ini, bertemu Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) A Malik Fajar serta memberikan ceramah di Jakarta, Bandung serta Yogyakarta.

Untuk kasus Indonesia, konflik merebak di berbagai daerah, Hayden melihat dari berbagai sisi, telah membuat banyak anak mengalami trauma sosial. Mereka juga memerlukan pola pendidikan khusus berbeda dengan teman-temannya. Anak-anak yang pernah mengalami dan menyaksikan kekerasan, kata Torey, memerlukan pendekatan yang berbeda disesuaikan dengan kondisi psikologis mereka.

Anak-anak tersebut, urai Hayden, harus diyakinkan bahwa mereka dicintai lingkungannya. Selain memberikan muatan pendidikan formal, guru-guru pun, seharusnya mau mendengar keluh kesah mereka serta melakukan pendekatan psikologis lainnya.

"Ya, saya mendengar tentang kondisi di Indonesia. Jika kondisi traumatis itu dibiarkan begitu saja, kita tak akan tahu apa yang akan terjadi pada mereka nantinya setelah dewasa. Yang penting, bagaimana caranya agar anak-anak itu tetap memiliki harapan dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik, bahwa kondisi buruk yang terjadi sekarang bisa berubah nantinya," ujar Hayden.

Sementara itu, Haidar Bagir, Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah unggulan, dan mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus, di tempat yang sama, sepakat dengan pikiran yang digulirkan Hayden. Haidar mengungkapkan, selain mengalami kekurangan jumlah sekolah yang mengkhususkan diri pada pendidikan anak-anak dengan kebutuhan khusus, Indonesia pun harus melakukan perbaikan pada kurikulum pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.

"Padahal, jelas-jelas dalam Undang-Undang Dasar (UUD), disebutkan bahwa anak telantar dan anak cacat itu menjadi tanggungan negara. Jadi, yang dibutuhkan sekarang adalah sejauh mana amanat UUD itu bisa dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari. Namun, daripada menunggu pemerintah, kami mencoba bergerak lebih dahulu, termasuk memberikan Beasiswa bagi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah kami," tukas Haidar, Direktur Utama Mizan Publika, perusahaan yang menerbitkan buku-buku Torey Hayden.

Sumber: Media Indonesia, 7 September 2004

Pendidikan khusus

SOSIALISASI SUBSIDI PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

DI KABUPATEN/KOTA SE NUSA TENGGARA TIMUR

Kegiatan Sosialisasi Program Perluasan dan Peningkatan Mutu Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus berlangsung selama 3 (tiga) hari mulai dari tanggal 12 s/d 14 April 2007 bertempat di UPTD PKB Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa tenggara Timur Jln. Perintis Kemerdekaan Kota Baru Kupang. Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur, Bapak Ir. Thobias Uly, M. Si.

Kegiatan ini berlangsung lancar dan tertib dengan jumlah peserta 105 orang dengan melibatkan unsur-unsur Kepala Sekolah/Guru SLB, Sekolah Terpadu, Penyelenggara Akselerasi, Komite Sekolah dan Staf Sub Dinas PLBK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Tujuan pemberian subsidi ini adalah untuk mewujudkan perluasan dan pemerataan pendidikan melalui kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang bermutu, mendorong sekolah untuk melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan di sekolah serta mendorong dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.

Adapun sekolah-sekolah yang mendapatkan bantuan subsidi adalah sebagai berikut :

1. SLB Negeri Pembina Kupang

2. SDLB Negeri Kupang

3. SLB Asuhan Kasih Kupang

4. SLB Negeri Oelmasi Kab. Kupang

5. SLB Negeri Nunumeu Soe

6. SDLB Negeri Benpasi

7. SLB Negeri Tenubot Belu

8. SLB Negeri Rote Ndao

9. SDLB Negeri Mebung Alor

10. SDLB Negeri Beru Maumere

11. SLB/C Bakti Luhur

12. SLB Negeri Ende

13. SLB Negeri Bajawa

14. SLB/A Karya Murni Ruteng

15. SLB/B Karya Murni Ruteng

16. SDLB Negeri Tenda Ruteng

17. SDLB Negeri Waingapu

18. SLB Negeri Waikabubak

19. SDN Batuplat 2

20. TK Terpadu Assumpta

21. SMP Negeri 1 Kupang Tengah

22. SMP Negeri 2 Kupang (Akselerasi)

23. SMPK St. Theresia Kupang (Akselerasi)

24. SMAK Giovani Kupang (Akselerasi)

25. SMA Mercusuar Kupang (Akselerasi)

26. SMA Negeri 1 Kupang

27. SMA Negeri 1 Kupang Timur

28. SMP Negeri 1 Soe

29. SMP Negeri 1 Maumere

30. SMP Negeri 2 Ruteng

31. SMAK Setya Bakti Ruteng (Akselerasi)

32. SMAK St. Fransisikus Zaverius

33. SMA Negeri 1 Waingapu (Akselerasi)

Para peserta sosialisasi menyambut baik adanya pemberian subsidi dari Pemerintah baik Pusat maupun Daerah guna mendukung pemerataan Wajar Dikdas 9 Tahun dan menyediakan Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK dan PLK) yang semakin merata dan berkualitas.