Selasa, 17 Maret 2009

Persoalan Pendidikan Dasar di Indonesia

Persoalan Pendidikan Dasar di Indonesia.

Mekipun dasar hukum untuk meningkatkan pendidikan berkualitas sangat kuat, namun setelah enam dekade merdeka persoalan pendidikan masih juga menjadi momok besar bagi setiap pemerintahan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menjelaskan sejumlah persoalan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.

Persoalan pertama, pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali (lihat tabel 1).

Tabel 1:

Penduduk diatas 15 tahun Menurut Pendidikan yang Ditamatkan


Pendidikan

Presentase

1

Tdk/ blm tamat SD

22%

2

SD

39%

3

SLTP

17%

4

SLTA

18%

5

Diploma

2%

6

Universitas

2%


TOTAL

100%

Diolah dari data Susenas, BPS 2003

Angka buta aksara penduduk juga masih tinggi. Menurut data Susenas, angka buta aksara usia 15 tahun keatas masih mencapai 10.12 persen (SUSNAS 2003).

Persoalan kedua, angka partisipasi sekolah (APS)—rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah---masih belum sebagaimana yang diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Angka tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat sekitar 19 persen anak usai 13-15 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/ tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Data Susenas 2003 mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan (75,7 persen).

Masih terdapat kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antar kelompok masyarakat. Data Susenas 2003 menemukan bahwa APS penduduk berusia 13-15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 93.98 persen, sementara untuk kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 67.23 persen. Kesenjangan lebih lebar dijumpai pada usia 16-18 tahun dimana kelompok 20 persen terkaya mencapai 75.62 persen dan 20 persen termiskin hanya mencapai 28.52 persen.

Selain kesenjangan partisipasi sekolah antara penduduk kaya dan miskin terdapat juga kesenjangan antara penduduk perkotaan dan pedesaan. Rata-rata APS untuk penduduk berusia 13-15 tahun di perkotaan telah mencapai 89.3 persen sementara untuk penduduk pedesaan hanya 75.6 persen. Kesenjangan lebih nyata terlihat pda kelompok usia 16-18 tahun, APS untuk penduduk perkotaan sebesar 66.7 persen sementara penduduk perkotaan hanya mencapai 38.9 persen.

Data APS di atas menujukkan bahwa semakin tinggi pendidikan, semakin lebar kesenjangan yang terjadi. Untuk anak usia 7-12 tahun, anak usia sekolah dasar, terdapat kesenjangan antara kelompok penduduk kaya-miskin dan kelompok penduduk pedesaan-perkotaan. Namun kesenjangan ini terlihat lebih lebar untuk anak usia SLTP (usia 13-15 tahun).

Persoalan ketiga, angka drop out (DO) masih tinggi. Pada tahun ajaran 2004/2005 angka DO untuk anak SD/MI mencapai 685.967. Selain itu anak yang lulus SD tetapi tidak mampu melanjutkan ke jenjang SMP juga tinggi, untuk tahun 2004/2005 jumlahnya mencapai 495.261. Tingginya angka DO dan angka lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP biasanya adalah karena faktor ekonomi orang orang tua, sementara itu biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah tidaklah murah.

Persoalan keempat, fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan anak-anak daerah tersebut sulit mengakses pendidikan dasar.

Selain itu masih banyak dijumpai gedung-gedung Sekolah dasar dan sekolah menengah dalam keadaan rusak dan tak layak huni. Hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2004 menunjukkan bahwa 57.2 persen gedung SD/ MI dan sekitar 27.3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Akibatnya para murid terpaksa belajar di ruangan terbuka, atau menanggung bahaya belajar di dalam gedung yang hampir roboh.

Persoalan kelima, kualitas pendidikan yang rendah. Sebenarnya kualitas kepandaian siswa-siswa Indonesia tidaklah kalah dari negara-negara lain. Buktinya, berulang-ulang anak Indonesia menang di arena perlombaan ilmu pengetahuan di tingkat internasional seperti di Olimpiade Fisika, dan The First Step to Nobel Prize (lihat data di bawah).

Tabel 2:

Siswa Indonesia yang Memenangkan Medali Emas di The First Step to Nobel Prize

Tahun

Nama

Sekolah

1999

I Made Agus Wirawan

SMUN 1 Bangli, Bali

2004

Septinus George Saa

SMUN 3 Jayapura, Papua

2005

Anike Nelce Bowaire

SMAN 1 Serui, Papua

2005

Dhina Pramita Susanti

SMAN 3 Semarang, Jateng

Di olah dari Kompas, 17 Juni 2005

Meski siswa-siswa Indonesia terbilang sering memenangkan perlombaan internasional, namun secara kualitas ternyata siswa Indonesia masih tertinggal jauh. Hal ini misalnya terlihat dari survei Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Lembaga ini melakukan survei secara internasional dan menggunakan metode statistik ketat. Hasilnya lembaga ini menempatkan posisi Indonesia pada posisi di bawah rata-rata (Suara Pembaharuan, Rabu 4 Mei 2005). Pada tahun 1999 dan 2003 hasil TIMSS tidak menunjukkan peningkatan mutu yang signifikan. Bila nilai rata-rata untuk Matematika adalah 467, Indonesia hanya mampu mencapai angka 411. Begitu juga untuk nilai di bidang sains, nilai Indonesia hanyalah 420 jauh dibawah nilai rata-rata yang 474.

Mengapa timbul fenomena yang paradoksal seperti ini? Nampaknya persoalan bukan terletak pada kualitas manusianya namun lebih pada kualitas dan sistem pendidikan di Indonesia.

Melihat sederet persoalan di bidang pendidikan ini, publik saat ini menunggu kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY-Kalla untuk segera menyelesaikannya. Apalagi dalam kampanye pemilihan presiden lalu, SBY-Kalla pernah menjanjikan terselenggaranya pendidikan gratis apabila ia terpilih.

KEBIJAKAN UMUM PEMERINTAHAN SBY

Kebijakan umum pemerintahan SBY-Kalla ini dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). RPJMmenyebutkan target ”meningkatnya akses masyarakat terhadap pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan” sebagai sasaran pembangunan pendidikan sampai dengan tahun 2009. Target pemerintah dalam RPJM ini selain ingin menyelesaikan persoalan kuantitas---- meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan---, namun juga kualitas pendidikan di Indonesia. Target ini nampaknya memang ideal untuk mengatasi persoalan pendidikan yang selama ini dihadapi dan segaris dengan amanah undang-undang yang mewajibkan negara untuk memberikan pendidikan berkualitas kepada warga negaranya.

Meski tercantum secara ideal dalam RPJM namun kenyataannya pemerintah masih belum memiliki kemauan politik kuat membuat pendidikan sebagai prioritas utama dalam kebijakannya. Salah satu indikasinya adalah alokasi anggaran pemerintah bidang pendidikan yang sangat tidak mencukupi. Pemerintah SBY-Kalla dalam APBN 2005 mengalokasikan sejumlah Rp 25,710 triliun untuk anggaran bidang pendidikan. Jumlah ini hanyalah 9.7 persen saja dari total anggaran APBN. Dari jumlah tersebut Dirjend Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) mendapatkan jatah sebesar Rp 11,357 triliun[2].

Pemerintah beralasan bahwa kemampuan APBN negara tidak memungkinkannya untuk memenuhi kewajiban yang diembankan UUD ’45 harus mengalokasikan paling kurang 20 persen APBN untuk bidang pendidikan. Dengan alokasi anggaran yang demikian rendah, pemerintah SBY-Kalla sulit untuk mengimplementasikan cita-cita pendidikan gratis dan bermutu sebagaimana yang diamanahkan dalam undang-undang dan sebagaimana yang dijanjikan dalam kampanye.

Menyikapi alokasi anggaran pendidikan ini masyarakat berreaksi keras[3]. Salah satu kritiknya adalah bahwa alokasi anggaran pendidikan yang rendah, tidak sesuai dengan amanah konstitusi Indonesia. Sebabnya UUD ’45 pasal 31 jelas-jelas memerintahkan agar negara mengalokasikan paling tidak 20 persen anggaran APBN untuk kepentingan bidang pendidikan. Alasan ini membuat pengamat pendidikan terus meragukan komitmen pemerintah SBY-Kalla dalam pembangunan pendidikan.

Bahkan di tingkat internasional, anggaran yang rendah ini telah membuat Indonesia dimasukkan oleh Organisasi Guru Internasional ke dalam daftar salah satu negara dari tujuh negara—selain Mesir, Brasil, Argentina, India, Bangladesh, Pakistan---yang tidak memperdulikan bidang pendidikan (Smeru 2004 :18). Lembaga pendidikan PBB sendiri, UNESCO, telah memberi ketentuan agar setiap negara paling tidak mengalokasikan 25 persen dari anggaran negaranya untuk bidang pendidikan.

Dengan kondisi anggaran yang demikian, dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand saja anggaran pendidikan Indonesia masih kalah jauh. Anggaran pendidikan Indonesia rata-rata hanya sepertiga dari anggaran pendidikan negara-negara tersebut. Bahkan anggaran pendidikan Zimbabwe misalnya mencapai 8 kali lebih besar dibandingkan anggaran pendidikan di Indonesia. Kondisi pendidikan Indonesia sangat parah sebab Indonesia ternyata merupakan Negara yang menyediakan anggaran pendidikan terkecil ke dua setelah Myanmar (Smeru 2004: 18).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar