Rabu, 18 Maret 2009

pendidikan menengah

Saya tengah menulis disertasi tentang pendidikan menengah di Indonesia. Pada bab 2 saya mencoba membuat studi komparasi antara pengertian, perkembangan/perubahan pendidikan menengah selama masa penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, Repelita, dan reformasi. Objek kebijakan yang saya kaji adalah UU Sisdiknas dari tahun 1950, 1989 dan 2003, beserta PP, Permen, Kepmen lain yang terkait.
Untuk menganalisa topik itu saya secara umum menggunakan referensi dari dua buku utama yaitu 50 tahun Pembangunan Pendidikan Nasional 1945-1995 karangan Bapak H.A. R Tilaar (1995) dan buku 50 tahun Pendidikan di Indonesia yang dibuat pada jaman Mendikbud Wardiman Djoyodiningrat (1996). Selain itu beberapa literatur supplement dari jurnal.
Kedua buku menguraikan secara rinci sejarah pendidikan di Indonesia. Definisi tentang pendidikan dasar dan pendidikan menengah juga disebutkan dengan jelas dalam UU no 4 tahun 50, tetapi wording menjadi unclear dalam UU no 2 tahun 1989 dan UU no 20 tahun 2003.
Sayangnya saya tidak bisa mengakses online karya-karya di IKIP/UP di Indonesia, sehingga saya tidak mendapatkan apakah sudah ada yang menganalisa perubahan ini dengan detil. Saya minta tolong kepada Pak Dedi Dwitagama, karena saya tahu beliau punya relasi yang luas di dunia pendidikan.
Untuk membandingkan ketiga UU secara komprehensive, saya menggunakan metode/aspek/dimensi yang digunakan R Murray Thomas dalam sebuah papernya ketika menganalisa maturity UU no 20/1989.
Jika menyoroti pengertian pendidikan dasar dalam UU 50 yang disebut dengan pendidikan rendah, definisinya sangat jelas, bahwa level ini adalah level untuk menumbuhkan minat, mengasah kemampuan pikir, olah tubuh dan naluri. Sedangkan pendidikan menengah adalah pendidikan yang lebih mengarah kepada persiapan kerja dan lanjut ke PT. Berikut ini uraiannya,
Pendidikan dan pengadjaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing, dan memberikan dasar-dasar pengetahuannnya, kecakapan dan ketangkasan, baik lahir maupun bathin.
Pendidikan dan pengadjaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran jang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita-cita hidup serta membimbing kesanggupan murid sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat dan/atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengadjaran tinggi.
Definisi ini menjadi disederhanakan dalam UU no 2/1989.
Seperti berikut ini :
Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.
1. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
Adapun UU no 20 tahun 2003 menyebutkan seperti ini :
(1)Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.(2) Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
(1)Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.(3) Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah Menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
UU 1989 dan 2003 memang dilengkapi dengan ayat bahwa hal-hal yang belum jelas akan dirincikan dalam PP, namun PP terakhir tentang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah yang saya ketahui adalah PP no 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar, dan saya belum menemukan PP tentang pendidikan menengah.
Tapi dari pendefinisian yang termaktub dalam UU di atas, secara objektif kita dapat mengatakan bahwa definisi UU 50 lebih rasional dan lebih menyentuh esensi pendidikan, yaitu pendidikan tiga dimensi, tubuh, jiwa, dan otak. Bakat dan kesukaan sebagai sebuah hal yang mulai diabaikan saat ini karena semua anak harus digiring menuju arena kompetisi, tidak disebutkan dengan jelas pembinaannya dalam UU selanjutnya. UU 1989 dan 2003 memberikan beban lebih kepada anak yang belajar di level pendidikan dasar untuk siap menjadi anggota masyarakat, yang sama sekali tidak disebutkan dalam UU 1950.
Pendidikan menengah pda ketiga UU tidak mengalami perubahan yang berarti dalam pemaknaan. Tetapi terjadi perubahan dalam kategori sekolah pada jenjang pendidikan. Yaitu, dalam UU 1950, pendidikan dasar adalah SD. Sedangkan dalam UU 1989 dan 2003 pendidikan dasar adalah SD dan SMP serta sekolah yang sederajat. Pendidikan menengah adalah SMA, yang semula pada UU 1950, terdiri dari SMP dan SMA.
Perubahan itu barangkali terjadi karena program wajib belajar 9 tahun. Program wajar dalam UU terbaru disebutkan sebagai program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Penggolongan baru ini menimbulkan beberapa pertanyaan : apakah pendidikan di level SMP dapat dikatakan sebagai materi pendidikan dasar ? Jika ya, maka mengapa penamaan sebagai sekolah menengah masih dipakai ? Jika ini dimaksudkan untuk mensukseskan wajib belajar, maka seharusnya SD dan SMP digabungkan, sehingga masalah yang muncul dalam transisi SD ke SMP dapat teratasi (penelitian McClean, 2002 tentang kondisi di Eropa). Konsekuensi lain dalam penggabungan adalah perlu dilakukan perubahan dalam proses penerimaan siswa setelah lulus SD. Yaitu, tidak perlu ada rayonisasi atau seleksi sekolah, tetapi harus dibuat lokalisasi SD dan SMP. Sebagai contoh siswa SD di kecamatan/kelurahan A hanya boleh mendaftar di SMP kecamatan/kelurahan A, dengan tanpa dipungut uang masuk dan SPP.
Proses lokalisasi akan menghemat pengeluaran penduduk untuk biaya pendidikan dan menjamin semua anak lulusan pendidikan formal, non formal dan informal level SD dapat diterima di SMP di lokasinya.
Saya masih belum menemukan alasan yang tepat tentang perubahan penggolongan pendidikan dasar dan menengah selain alasan penyuksesan program wajar, barangkali di antara pembaca ada yang punya analisa lain ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar